Kamis, 23 Juli 2015

Mengapa Pondok Pesantren di Desa Surodadi Sepi?



   
Surodadi adalah salah satu desa di kecamatan kedung, Jepara. Desa Surodadi merupakan desa yang sejak dulu terkenal dengan kota santrinya. Namun nampaknya gelar  kota santri yang melekat, kini berangsur-angsur menghilang dengan sendirinya. Seiring berkurang santri yang mengaji setiap tahunnya.

Santri-santri yang belajar mengaji di desa Surodadi pada tahun 70 an sampai 90 an sangat banyak. Para santri ini tidak hanya berasal dari desa sendiri atau desa sekitar melainkan berasal dari berbagai pulau Indonesia. Konon jumlah santri yang mengaji di Desa Surodadi ini mencapi ratusan. Jumlah santri yang demikian banyaknya, mendorong tokoh-tokoh desa, masing-masing mendirikan Pondok Pesantren. Sehingga santri dapat dengan mudah belajar ulumuddin tanpa harus khawatir tidak kebagian tempat. Pondok Pesantren yang didirikan mencapai 15-20 an Lembaga Pondok Pesantren. Jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk desa. Pondok Pesantren ini terdiri dari putra-putri, tahfidzul Qur’an, dan Nahwu Shorof.
Memasuki tahun 2000 M, penghuni Pondok Pesantren (santri, red) berangsur-angsur berkurang. Hal ini terus berlanjut hingga tahun 2015 yang semakin berkurangnya jumlah santri yang dimiliki setiap Ponpes.  Pondok Pesantren yang sebelumnya memiliki santri ratusan, kini hanya memiliki santri beberapa puluh saja. Bahkan ada Pondok Pesantren yang tidak memiliki santri.
Hal ini sebenarnya menjadi masalah serius yang dihadapi desa Surodadi. Terlebih gelar “kota santri” telah melekat berpuluh-puluh tahun lamanya. Setiap tokoh mempunyai pandangan sendiri atas sepinya ponpes-ponpes yang ada. Ada salah satu tokoh yang mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh westernisasi. Tokoh yang lain mengatakan bahwa hal ini disebabkan sifat materialistik orang tua sehingga anak-anak hanya disuruh mencari uang tanpa boleh mengaji. Ada juga tokoh yang mengatakan bahwa hal ini disebabkan karena tidak adanya keinginan anak-anak untuk mengaji.
Disamping itu, beberapa tokoh pemuda desa berpendapat kalau yang menjadi masalah adalah pihak pengelola pondok pesantren. Pihak pengelola pondok pesantren (pengurus.red) dianggap tidak bisa menyediakan ustadz yang berkualitas. Berkualitas dalam hal keilmuan, akhlak, dan kewibawaan yang dimiliki oleh ustadz-ustadz tahun 70 an hingga 90 an. Karena hal inilah anak-anak menjadi malas dan tidak memiliki motivasi mengaji. Anak-anak menjadi takut ketika mengaji ke ustadz yang galak. Bahkan berani kepada ustadz yang tidak mempunyai keilmuan yang baik.
Setiap tindakan yang dianggap bisa menjadi solusi terus dilakukan oleh para tokoh agama Desa Surodadi. Tindakan-tindakan itu seperti memberikan sertifikat ngaji, memberikan beasiswa, mengadakan lomba dengan hadiah yang menarik, mengadakan stoudy wisata islam, houl, dll. Hanya saja tindakan-tindakan yang telah dilakukan belum dapat mengembalikan Desa Surodadi menjadi pusat keilmuan agama Islam. Yang menjadi pertanyaan, apakah solusi yang dilakukan itu sudah tepat? Atau mungkin akar permasalahan atas hal ini masih belum diketahui? Mengapa pondok pesantren di desa Sudoradi sepi? Bukan hanya permasalahan tokoh agama, melainkan permasalahan yang dimiliki bersama dan harus diselesaikan bersama-sama oleh masyarakat desa Surodadi.

by : Ali Ruslan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar