Surodadi adalah salah satu desa di kecamatan kedung, Jepara. Desa Surodadi merupakan desa yang sejak dulu terkenal dengan kota santrinya. Namun nampaknya gelar kota santri yang melekat, kini berangsur-angsur menghilang dengan sendirinya. Seiring berkurang santri yang mengaji setiap tahunnya.
Santri-santri yang belajar mengaji di desa Surodadi pada
tahun 70 an sampai 90 an sangat banyak. Para santri ini tidak hanya berasal
dari desa sendiri atau desa sekitar melainkan berasal dari berbagai pulau
Indonesia. Konon jumlah santri yang mengaji di Desa Surodadi ini mencapi
ratusan. Jumlah santri yang demikian banyaknya, mendorong tokoh-tokoh desa, masing-masing
mendirikan Pondok Pesantren. Sehingga santri dapat dengan mudah belajar
ulumuddin tanpa harus khawatir tidak kebagian tempat. Pondok Pesantren yang
didirikan mencapai 15-20 an Lembaga Pondok Pesantren. Jumlah yang cukup banyak
jika dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk desa. Pondok
Pesantren ini terdiri dari putra-putri, tahfidzul Qur’an, dan Nahwu Shorof.
Memasuki tahun 2000 M, penghuni Pondok Pesantren (santri,
red) berangsur-angsur berkurang. Hal ini terus berlanjut hingga tahun 2015 yang
semakin berkurangnya jumlah santri yang dimiliki setiap Ponpes. Pondok Pesantren yang sebelumnya memiliki
santri ratusan, kini hanya memiliki santri beberapa puluh saja. Bahkan ada Pondok
Pesantren yang tidak memiliki santri.
Hal ini sebenarnya menjadi masalah serius yang dihadapi
desa Surodadi. Terlebih gelar “kota santri” telah melekat berpuluh-puluh tahun
lamanya. Setiap tokoh mempunyai pandangan sendiri atas sepinya ponpes-ponpes
yang ada. Ada salah satu tokoh yang mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh
westernisasi. Tokoh yang lain mengatakan bahwa hal ini disebabkan sifat
materialistik orang tua sehingga anak-anak hanya disuruh mencari uang tanpa
boleh mengaji. Ada juga tokoh yang mengatakan bahwa hal ini disebabkan karena
tidak adanya keinginan anak-anak untuk mengaji.
Disamping itu, beberapa tokoh pemuda desa berpendapat kalau
yang menjadi masalah adalah pihak pengelola pondok pesantren. Pihak pengelola
pondok pesantren (pengurus.red) dianggap tidak bisa menyediakan ustadz
yang berkualitas. Berkualitas dalam hal keilmuan, akhlak, dan kewibawaan yang
dimiliki oleh ustadz-ustadz tahun 70 an hingga 90 an. Karena hal inilah
anak-anak menjadi malas dan tidak memiliki motivasi mengaji. Anak-anak menjadi
takut ketika mengaji ke ustadz yang galak. Bahkan berani kepada ustadz yang
tidak mempunyai keilmuan yang baik.
Setiap tindakan yang dianggap bisa menjadi solusi terus
dilakukan oleh para tokoh agama Desa Surodadi. Tindakan-tindakan itu seperti
memberikan sertifikat ngaji, memberikan beasiswa, mengadakan lomba dengan
hadiah yang menarik, mengadakan stoudy wisata islam, houl, dll. Hanya saja
tindakan-tindakan yang telah dilakukan belum dapat mengembalikan Desa Surodadi
menjadi pusat keilmuan agama Islam. Yang menjadi pertanyaan, apakah solusi yang
dilakukan itu sudah tepat? Atau mungkin akar permasalahan atas hal ini masih
belum diketahui? Mengapa pondok pesantren di desa Sudoradi sepi? Bukan hanya
permasalahan tokoh agama, melainkan permasalahan yang dimiliki bersama dan
harus diselesaikan bersama-sama oleh masyarakat desa Surodadi.
by : Ali Ruslan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar